ILMU BUDAYA DASAR
PERAN NILAI BUDAYA DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
OLEH
SAVERINUS
RAGA
214101050
KELAS
B
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
NEGARA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS LAKIDENDE
UNAAHA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada tuhan yang maha Esa karna limpahan kasih
dan rahmatnyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya , pertama saya ucapkan bayak
trima kasi kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikankan
penyusunan makalah ini. Trimakasi juga kepada dosen pembimbing matakuliah
pengantar ilmu politik yang telah memberikan arahannya atas tersusunnya
penyusunan makalah ini.
Disadari penyusunan makalah ini tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan
berbagai kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak yang telah membaca.
Unaaha, juni 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. latar belakang ................................................................ 2
B. Rumusan Masalah.......................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan.............................................,............. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Arti kebenaran ............................................................. 3
..... B. Makna pendidikan ....................................................... 7
..... C. Pendidikan dalam lingkup
kebudayaan ..................... 13
B. Fungsi pendidikan bagi kebudayaan ......................... 18
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
.................................................................... 19
B.
Saran .............................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
Manusia
dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu
pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk
manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak
selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat
pula secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari
manusia lainnya. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan
mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua
tempat atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa
lain. Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke
masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat
dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping
perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat
dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya dipandang
asing atau janggal.
Peneliti
Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kumpulan individu yang memiliki
karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama.1
Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi
dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap
kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran
budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling
mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang
kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga
istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi,
akulturasi, dan enkulturasi.
Dalam
melestarikan khazanah budaya Indonesia yang kaya diperlukan kontribusi
pendidikan untuk menjaga keberlangsungan budaya tersebut. Pendidikan yang
terbentuk bisa kita namakan pendidikan yang berlandaskan budaya atau pendidikan
yang responsif terhadap kebudayaan. Akan tetapi di sisi lain model pendidikan
kontemporer harus tetap diadopsi untuk menjamin kompetisi pendidikan. Sehingga
pendidikan yang terbentuk yaitu kolaborasi antara kebudayaan dan modernisasi
sistem pendidikan.
Namun yang
menjadi persoalan penting yaitu memastikan fungsi pendidikan bagi
keberlangsungan budaya, menjaga budaya, dan mengembangkan budaya manusia untuk
kemajuan peradaban manusia. Sedangkan fungsi pendidikan untuk menyambut
modernitas itu akan berkembang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya
waktu dan berkembnagnya kebudayaan manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui
fungsi pendidikan dalam kebudayaan yaitu dengan memahami peran penting
pendidikan bagi perkembangan budaya. Pendidiakan sebagi pilar kebudayaan dan
dari kebudayaan yang terbentuk itulah nanti akan mengembangkan pendidikan bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam mengidentifikasi fungsi
pendidikan dalam kebudayaan muncul beberapa pertanyaan terkait, yaitu:
1. Apa arti kebudayaan?
2. Bagaimana makna pendidikan berdasarkan kebudayaan?
3. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan kebudayaan?
4. Seperti apa fungsi pendidikan bagi kebudayaan?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah
tersabut adalah:
1. Untuk
mengetahui arti kebudayaan
2. Untuk
mengetahui makna pendidikan berdasarkan kebudayaan
3. Untuk
mengetahui hubungan antara pendidikan dan kebudayaan
4. Untuk
mengetahui fungsi kebudayaan bagi pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI KEBUDAYAAN
Selo
Soemardjan dan Soelaman Soemardi (1964: 113) menjelaskan bahwa kebudayaaan
adalah semua hasil karya. rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang
meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai social
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan yang luas. Agama,
ideology, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia
yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang
antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cinta dinamakan
pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya,
rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya
agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat,
sedangkan karsa yaitu mengasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan
hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).
B. MAKNA PENDIDIKAN
Pendidikan
bukan sesuatu yang hadir dengan sendirinya tanpa melalui diakektika sejarah.
Salah satu ilmu yang berkembang dari sejarah yaitu pedagogi atau yang sering
disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga
sebenarnya telah ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan
dirinya, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi
suatu ilmu yang berdiri sendiri atau otonom. Nah dari penelusuran sejarah
pedagogi tersebut akan diperoleh makna pendidikan dari waktu ke waktu yang kian
berubah. Namun kita sedikit akan menukilkan bagaimana sejarah memaknai
pendidikan mulai dari zaman peradaban kuno sampai masa republik Romawi.
1. Pendidikan Pada Masa Peradaban Kuno
Pada masa
peradaban tua, tekanan utama pendidikan kepada manuasia ialah bagaimana cara
berusaha agar manusia tidak lupa akan segala norma yang berlaku secara lisan di
tengah-tengah masyarakat. Ini berlaku untuk semua peradaban tradisional sebelum
manusia mengenal alfabet (huruf-huruf). Dan cara yang paling ampuh untuk
mengatasi kelupaan ialah melalui cerita lisan yang diteruskan kepada anak atau
cucu, tentang segala aturan dan norma hidup, yang juga “ditetapkan” secara
lisan. Begitulah dari generasi ke generasi, manusia mendidik generasi
berikutnya dengan cara bercerita.
2. Pendidikan ala Homeros dan Hesiodos
Menurut
Homeros dan Hesiodos; yang semuanya berkembang di Yunani. Pendidikan ala
Homeros (dalam Illiad dan Odisea) menekankan bahwa menjadi manusia ideal.
Manusia ideal adalah manusia yang memiliki arete. Orang yang memiliki arete
ialah orang yang memiliki kekuatan fisik seperti keberanian dan juga kehebatan
untuk meraih kegemilangan dan hormat.
Hal yang kedua yaitu pendidikan ala
Hesiodos. Pendidikan yang ditekankan Hesiodos ialah pendidikan yang membuat
mereka yang dididik memiliki visi popolis (visi publik-umum-masyarakat). Konsep
arete dalam Homeros berkembang dari ide kepahlawanan menjadi keutamaan dalam
pergulatan hidup sehari-hari yang dialami kaum tani. Dasar moralitas dalam
arete Hesiodos ialah keadilan dan kerja keras. Orang yang adil ialah orang yang
bekerja keras. Kerja keras adalah jalaan satu-satunya menuju kepada keutamaan.
3. Pendidikan di Sparta dan Athena
(Yunani)
Pendidikan di Sparta (abad VIII – VI
sm), mulai dari yang lebih humanis kepada komunitaris yang anti demokrasi.
Arete bukan lagi dipahami sebagai serdadu yang mengutamakan semangat
patriotisme, yang dilakukan secara bebas, tetapi kegiatan pendidikan diambil
alih oleh negara sebagai institusi tertinggi. Sifat pendidikan menjadi sangat
tiranis, totalitarian (sedangkan di wilayah Atena, ciri pendidikan kepada
masyarakat lebih demokratis, dialogis dan menghargai individu). Memang arah dan
tujuan pendidikan di Sparta ialah keutamaan moral sebagai warga negara yang
memiliki cinta secara total kepada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan
kekerasan, mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur dan ketaatan total
kepada tanah air (patria).
Sedangkan
pendidikan di Atena lebih menekankan keharmonisan. Tatanan sosial tidak
didominasi militer tetapi masyarakatlah yanag mengatur kehidupan polis
(kota-negara) melalui sebaauh tata sosial politik. Sipil diberi kekuasaan yang
sangat besar dan luas untuk mengurus negara dan polis. Arete Homerian yang
aristokratis mulai dipraktikan oleh setiap warga negara yang ingin berprestasi.
Ideal kepahlawanan dalam Homerian tidak lagi hanya milik seseorang tetapi
menjadi milik setiap warga polis. Persaingan kepahlawanan di medan tempur,
sekarang juga berubah menjadi persaingan dalam perlombaan di Olympiade.
Sekolah-sekolah yang sebelumnya milik keluarga bangsawan berubah menjadi milik
publik. Pada masa inilah muncul banyak ilmu pendidikan di sekolah: gimnastik,
musik, puisi, teater, dan sastra.
4. Pendidikan Menurut Para Filsuf dan Socrates
Pada sekitar
abad ke-5 SM, pendidikan oleh para filsuf sangat menekankan gaya bicara
retoris. Manusia dididik untuk menjadi seorang retoris, kepandaian dalam bicara
atau berpidato. Orang dididik untuk mampu berbicara dengan baik dan logis serta
bijaksana. Mereka diajar untuk menyebarkan gagasan dan pendapat, tata bahasa
yang baik, teknik bicara serta retorika yang meyakinkan. Tujuan pendidikan ialah
mencetak para orator ulung. Karena itu arete berkembang kepada yang sifatnya
politis, arete politis, yang termanifestasi melalui kemampuan retoris yang
indah.
5. Pendidikan Menurut Plato
Pada
dasarnya, Plato menekankan penndidikan untuk “mencetak seorang filsuf
pemimpin”. Kritik Plato kepada kepada pemikiran pendidikan sebelumnya: “mereka
yang menjalani pendidikan hanya untuk mengejar sukses, kehormatan, dan
popularitas ialah pendidikan yang tingkatnya rendah sekalai. Menurut Plato,
pendidikan yang dilakukan harus menghantar orang kepada pengenalan dan
penghayatan makna kebaikan dan keadilan serta kebenaran. Manusia harus mempau
memelihara keharmonisan dari jiwanya dengan cara memelihara keharmonisan
negara, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan yang mengatasi dunia. Dan ini hanya
dapat dimilki oleh seorang filsuf. Seorang filsuf harus mampu memikirkan
kebahagiaan dunia dan yang mengatasi dunia serta mampu hidup dengan orang lain
dalam alam demokratis.
6. Pendidikan Menurut Isokrates
Isokrates
ialah seorang guru yang sangat mulia di hadapan publik Yunani, dalam hal budaya
oratoris dan pendidikan tulisan. Ia mengajarkan beberapa teori bahwa: kefasihan
berbicara ialah hadiah alamiah, pengajaran tidak dapat menyempurnakan alam,
para siswa, hanya dalam kasus ini, dapat memahami dari dosen yaitu
sistem-sistem ide yaitu forma pembicaraan. Selain itu, Isokrates juga
memperkenalkan kurikulum pendidikan, yang di dalamnya mengatur sekolah menengah
atas yang mulai dibuka kepada publik dengan lamanya waktu 3-4 tahun dan setiap
kelas tidak lebih dari 9 orang.
Hal lain
yang penting dalam pengaturan pendidikan ialah adanya ensiklopedia,
pembentukkan moral siswa melalui larangan-larangan atau perintah-perintah
praktis dari pengalaman dan studi tentang sejarah, retorika diajarkan dengan
peniruan, pentingnya praktek dialektika serta diterapkan ilmu matematika di
sekolah sangat penting.
Sokrates
mengkritik bahwa paideia bukan ditentukan pada kedalaman opini
(kebenaran-kebenaran absolut) tetapi dalam paideia retorica. Untuk pembentukan
manusia, Isokrates mengembangkan sebuah konsep budaya dan formasi yang
direduksikan pada praktek-praktek sikap dan tingkah laku.
7. Pendidikan Pada Peradaban Helenistik – Yunani
Sekitar abad
ke-4 sm, dimulailah peride Helenis, di mana kenudayaan Romawi mulai masuk ke
Yunani. Pertemuan kedua kebudayaan ini kemudian mempengaruhi juga pendidikan di
yunani. Idealisme manusia tidak hanya ditemukan dalam individu (Yunani): dalam
pemeliharaan jiwa Sokrates, dalam keterlibatan ala Plato manusia yang memiliki
arete adalah manusia yang berada dalam sebuah dunia yang tergabung secara
global melalui pelbagai macam kebudayaan dunia. Pemahaman ini membuka kepada
kepada ide humanitas. Akhirnya pendidikan pada masa ini bergeser kepada
pendidikan yang berciri humanitas. Inilah paideianya ala Romawi. Pada masa ini
juga muncul pelbagai displin ilmu seperi matematika (Euklides), fisika
(Arkhimedes), astronomi (Aristrakus), geografi (Erastisfene), dll. Lewat
kebudayaan helenis, paideia Yunani berubah menjadi humanitas yang
sedalam-dalamnya.
8. Pendidikan Pada Masa atau Peradaban Romawi dan Abad
Pertama dari Republik Romawi
Pada masa
ini paideia Yunani mulai berkembang dan mempengaruhi pendidikan di Romawi.
Tekanan utama pada paideia Romawi yang baru (yang tidak ada sebelumnya) ialah:
peranan penting tadisi dan keluarga dalam pendidikan. Pendidikan di Roma pada
abad-abad sebelum masehi ialah dibentuk melalui keluarga dengan cara
menghormati apa yang disebut dengan mos maiorum dan sistem pater familias.
Materi dasar bagi pendidikan adalah seperti mengutamakan kebaikan tanah air, la
pietas (devosi), la fides (kesetiaan), la grafitas (kualitas hidup) dan la
constantia (stabilitas). Semua orang yang didik harus diarahkan kepada manusia
yang mempunyai keutamaan seperti 4 hal tersebut, dan ini harus dibentuk sejak
orang berada di dalam keluarga.
C. PENDIDIKAN DALAM LINGKUP KEBUDAYAAN
Pada
dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup
kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin
interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil
perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Proses
hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu
rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu
melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia.
Antara
pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran
nilai-nilai budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah
suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang
dimiliki.
Oleh karena
itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar
tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi
kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.4
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan diterangkan dalam urutan
pembahasan dibawah ini.
1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks
kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa
kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar
jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi, menunjuk kepada peranan
individu bukan hanya sebagai bidak-bidak di dalam papan catur kebudayaan.
Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah
sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah
laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi yang
harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi.
Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan
kepribadian manusia.
Di sinilah
peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula psikolog
aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh
dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh
kebudayaan dimana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan
pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian
manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan
yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak
sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan
kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk
terbentuknya perilaku-perilaku
tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and
punishment” terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan
mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam
kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap
perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu
masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk
kelakuan tertentu melalui proses belajar.
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses
yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah transmisi kebudayaan. Proses
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan
proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan. Mengenai
masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena seperti yang telah
dijelaskan, kepribadian bukanlah semata-mata hasil tempaan dari kebudayaan.
Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus manipulator kebudayaannya.
Dengan demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang statis tetapi
sesuatu yang terus-menerus berubah. Untuk membuktikan hal tersebut marilah kita
lihat variabel-variabel transmisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Fortes dalam
Koentjoroningrat (1991). Di dalam transmisi tersebut
kita lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses
transmisi, dan (3) cara transmisi. Unsur-unsur kebudayaan manakah yang
ditransmisi? Pertama-tama tentunya unsur-unsur tesebut ialah nilai-nilai
budaya, adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai
konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya berbagai
kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi atau pergaulan para anggota di
dalam masyarakat tersebut.
Transmisi
unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Seperti telah dikemukakan
manusia adalah aktor dan manipulator dalam kebudayaannya. Oleh sebab itu,
unsur-unsur tersebut harus diidentifikasi. Proses identifikasi itu berjalan
sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri.
Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan pengakuan lingkungan
sekitarnya. Artinya perilaku-perilaku tersebut harus mendapatkan pengakuan
sosial yang berarti bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut adalah yang
sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungannya.
3. Pendidikan Sebagai Proses
Pembudayaan
Seperti yang
telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan, nilai-nilai kebudayaan
bukanlah hanya sekadar dipindahkan dari satu bejana ke bejana berikut yaitu
kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan
kebudayaan betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di dalam
proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi dan penemuan, difusi
kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi, fokus, krisis, dan prediksi masa
depan serta banyak lagi terminologi lainnya. Beberapa proses tersebut dapat
dijelaskan sebagai
a. Penemuan atau Invensi
Dua
konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam pertumbuhan dan kebudayaan.
Hal itu mengingat tanpa penemuan-penemuan yang baru dan tanpa invensi suatu
budaya akan mati. Biasanya pengertian kedua terminologi ini dibedakan. Suatu
penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum dikenal tetapi telah
tersedia di alam sekitar atau di alam semesta ini. Misalnya di dalam sejarah
perkembangan umat manusia terjadi penemuan-penemuan dunia baru sehingga
pemukiman manusia menjadi lebih luas dan berarti pula semakin luasnya
penyebaran kebudayaan.
Dengan
invensi maka umat manusia dapat menemukan hal-hal yang dapat mengubah
kebudayaan. Dengan penemuan-penemuan melalui ilmu pengetahuan maka lahirlah
kebudayaan industri yang telah menyebabkan suatu revolusi kebudayaan terutama
di negara-negara barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat telah membuka horizon baru di dalam kehidupan umat manusia. Ilmu
pengetahuan berkembang begitu cepat secara eksponensial sehingga apa yang
ditemukan hari ini mungkin besok telah usang.
b. Difusi
Difusi
kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran budaya-budaya tertentu antara
masyarakat yang lebih maju kepada masyarakat yang lebih tradisional. Pada
dasarnya setiap masyarakat setiap jaman selalu mengalami difusi. Hanya saja
proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat perlahan-lahan. Namun hal itu
berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi mampu menyajikan beragam
informasi yang serba cepat dan intens, maka difusi kebudayaan akan berjalan
dengan sangat cepat.
Lihat saja
misalnya apa yang terjadi di negara kita, bagaimana pengaruh Kebangkitan
Nasional terhadap kehidupan suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda pada tahun
1928 telah melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan/atau bahasa
nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu, dari puak Melayu yang hidup
di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa Indonesia terhadap kebudayaan di Nusantara
sangat besar sampai-sampai banyak anak-anak sekarang terutama di kota-kota
besar yang tidak lagi mengenal bahasa lokalnya atau bahasa ibu. Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk
memelihara bahasa ibu dari anak-anak kita.
c. Inovasi
Inovasi
mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam setiap kebudayaan terdapat
pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam masyarakat yang sederhana yang relatif
masih tertutup dari pengaruh kebudayaan luar, inovasi berjalan dengan lambat.
Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi menjadi terbuka karena
didorong oleh kondisi budaya yang memungkinkan. Oleh sebab itu, di dalam
masyarakat modern pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi
perkembangan kebudayaan. Inovasi merupakan dasar dari lahirnya suatu masyarakat
dan budaya modern di dalam dunia yang terbuka dewasa ini.
Inovasi
kebudayaan di dalam bidang teknologi dewasa ini begitu cepat dan begitu
tersebar luas sehingga merupakan motor dari lahirnya suatu masyarakat dunia yang
bersatu. Di dalam kebudayaan modern pada abad teknologi dan informasi dalam
millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi merupakan cirri dari manusia yang
dapat survive dan dapat bersaing. Persaingan di dalam dunia modern telah
merupakan suatu tuntutan oleh karena kita tidak mengenal lagi batas-batas
negara. Perdagangan bebas, dunia yang terbuka tanpa-batas, teknologi komunikasi
yang menyatukan, kehidupan cyber yang menisbikan waktu dan ruang,
menuntut manusia-manusia inovatif. Dengan sendirinya wajah kebudayaan dunia
masa depan akan lain sifatnya.
d. Visi Masa Depan
Suatu hal
yang baru dalam proses pembudayaan dewasa ini ialah peranan visi masa depan.
Terutama dalam dunia global tanpa-batas dewasa ini diperlukan suatu visi ke
arah mana masyarakat dan bangsa kita akan menuju. Tanpa visi yang jelas yaitu
visi yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan bangsa
(Indonesia), akan sulit untuk menentukan arah perkembangan masyarakat dan
bangsa kita ke masa depan, atau pilihan lain ialah tinggal mengadopsi saja apa
yang disebut budaya global. Mengadopsi budaya global tanpa dasar kehilangan
identitasnya. Di sinilah letak peranan pendidikan nasional untuk meletakkan
dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat Indonesia
yang akan dijadikan pondasi untuk membentuk budaya masa depan yang lebih jelas
dan terarah.
D. FUNGSI PENDIDIKAN BAGI KEBUDAYAAN
Ketika
kita mengagumi karya agung kemanusiaan Candi Borobudur dan Prambanan, tersirat
pemikiran bahwa di belakang karya ini tentu ada pendidikan, pengajaran dan
pelatihan yang telah tersistem dengan baik. Namun data tentang sistem
pendidikan saat itu belum ditemukan orang selain prasasti dan buah hasil
pemahatan. Pendidikan pelatihan tenaga pematung pasti diikuti disiplin tertentu
hingga dapat membuat batu tersusun rapi geometris. Patung-patung dari ujung
atas hingga bawah di Borobudur seragam bentuk dan tekniknya, padahal masa
pembuatannya memakan waktu 3 generasi dan tetap tidak ada deviasi interpretasi
seni pemahatan.
Teknologi
pembuatan candi kala itu pasti merupakan teknologi garda depan di dunia. Bahkan
hingga saat inipun orang masih menobatkan sebagai keajaiban di dunia. Andai
candi-candi dibangun pada era sekarangpun tidak mudah direalisasikan dan dengan
biaya sangat besar. Pantaslah Bung Karno selalu mengagung-agungkan betapa
perkasanya bangsa di Nusantara kala itu.
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi,
maka pendidikan selain diberikan secara tertulis ada juga secara lisan.
Pendidikan lisan baik Hindu maupun Budha bisa berupa dakwah pengajian pimpinan
agama atau melalui dongeng, mythos, cerita, legenda secara turun temurun.
1. Pendidikan sebagai Sosialisasi
Kebudayaan
Telah kita
ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir seiring dengan keberadaan manusia,
bahkan dalam proses pembentukan masyarakat pendidikan ikut andil untuk
menyumbangkan proses-proses perwujudan pilar-pilar penyangga masyarakat. Dalam
hal ini, kita bisa mengingat salah satu ungkapan para tokoh antropologi seperti
Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 mendefinisikan arti
kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan
ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai
landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku
dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai
sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu
menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan
berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat
tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.
Proses
belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari
system “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi
dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga
pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari
berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan
internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi
kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara
hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan
sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
Dalam hal
ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat untuk
mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan
tuntutan perubahan zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru,
pengertian-pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang lingkup
kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Sehingga
dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat
pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan
global. Sebagai salah satu perangkat kebudayaan, pendidikan akan melakukan
tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini
dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara
pendidikan dengan realitas perkembangan sosial faktual yang saat ini tengah
menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia.
2. Pergulatan Manusia dalam
Keanekaragaman Budaya
Semenjak
awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat asal usul dari manusia. Seperti
mengungkap kotak hitam misteri yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya,
pemecahan seluk beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan pemikiran yang
menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing pemikir atau asumsi umum
silih berganti mengajak masyarakat menjadi penganut perspektif tersebut.
Diantaranya adalah tiga asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam sebelum
jaman
Pertama, ada
yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang diciptakan beraneka
macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang berkulit
putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan kuat. Oleh karena itu,
kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling tinggi. Cara
berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu
hanya pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu makhluk
induk dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini merupakan keturunan Adam.
Berbagai bidang kajian banyak
dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia
dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi. Beraneka macam kajian
anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekan-kan atas dasar keanekaragaman
ciri-ciri fisik manusia. Selain itu, ada sebagai para ahli filsafat sosial di
masa Aufklarung, mulai mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan
tingkah laku makhluk manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku manusia, dicoba
untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah alam. Setiap kali mereka
berupaya menyempurnakan dirinya, maka akan menyebabkan perubahan kebudayaannya.
Suatu perubahan kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan pendukung
kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan perubahan dan
perkembangan, akhirnya juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan; sementara itu
tidak tertutup kemungkinan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat
ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Sehingga keberadaan pendidikan sangat
penting sebagai mediator dalam dialektika kebudayaan lama dengan kebudayaan
baru yang melahirkan system kebudayaan yang memang berguna untuk masyarakat.
3. Pendidikan sebagai Dasar
Pengembangan Masyarakat Baru
Dewasa ini
boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh semua negara, baik negara
berkembang maupun negara maju, dijadikan sebagai pondasi untuk menghadapi
perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan masyarakat dalam millennium
ketiga. Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari
negara-negara tersebut. Pendidikan telah dijadikan prioritas utama dan pertama
dari banyak negara untuk dijadikan sebagai pondasi membangun masyarakat yang
lebih demokratis, terbuka bagi perubahan-perubahan global dan menghadapi
masyarakat digital. Boleh dikatakan semua negara memberikan prioritas utama
kepada pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah.
Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam pengembangan suatu
masyarakat, maka ilmu pendidikan juga mempunyai orientasi baru.
a. Arah Baru Pedagogik
Di dalam
perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-masalah mikro
pendidikan, seperti perkembangan anak, proses belajar dan pembelajaran,
fasilitas pendidikan, biaya pendidikan, manajemen pendidikan dan sebagainya. Di
dalam perkembangannya dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari
perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi. Telah kita lihat, betapa
perubahan pola-pola kehidupan masyarakat manusia dewasa ini yang semakin
terbuka. Kehidupan politik yang semakin didominasi oleh gerakan demokratisasi.
Hak-hak asasi manusia semakin menonjol di dalam setiap pemerintahan dan di
dalam organisasi-organisasi dunia. Semuanya mengakui betapa besar peranan
pendidikan di dalam membangun masyarakatdunia baru.
Indonesia telah mulai menunjukkan
gejala-gejala yang positif memprioritaskan pendidikan di dalam proses
pembangunan masyarakat Indonesia baru di dalam APBN dan APBD yang akan datang.
Perubahan-perubahan sosial tersebut di atas telah membawa kepada suatu
keperluan untuk memberikan orientasi baru terhadap pedagogik. Pedagogik bukan
sekadar mencermati perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa, atau mengenai
proses pendidikan orang dewasa, atau menyimak mengenai proses belajar dan
pembelajaran, tetapi lebih luas daripada itu, yaitu menempatkan perkembangan
dan kehidupan manusia di dalam tetanan kehidupan global.
Dengan
demikian, pedagogik bukan hanya terbatas kepada ilmu mendidik dalam arti
sempit, atau sekadar aplikasi ilmu jiwa pendidikan, tetapi juga membahas
mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan hidup yang mengglobal bagi
umat manusia. Pedagogik merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari
perubahan sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan hanya perubahan
ekonomi bagi negara-negara maju, tetapi juga ekonomi yang dihadapi oleh
kebanyakan negara berkembang yakni pemberantasan kemiskinan.
Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila investasi di dalam pendidikan dan pelatihan
merupakan agenda paling urgen di dunia dewasa ini. Masalah-masalah
pemberdayaan, partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah, perbaikan gizi,
pengembangan civil society, pengembangan sikap toleransi antarbangsa,
antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi, antaretnis, multicultural
education, merupakan topik-topik hangat di dalam pedagogik arah baru.
b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan
Kebudayaan
Pedagogik
orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan yang erat antara
pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan politik. Demikian
selanjutnya, pedagogik tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan di mana
pendidikan itu merupakan bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan sarana,
bahkan jiwa dari kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpa kohesi sosial tidak
mungkin lahirnya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Mengisolasikan pendidikan dari
kebudayaan berarti melihat proses pendidikan di dalam ruang hampa.
Pakar-pakar
ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik melihat betapa pendidikan
merupakan aspek yang sangat strategis di dalam menyiapkan suatu tata kehidupan
manusia yang baru. Demikianlah kita melihat bagaimana peranan pendidikan di
dalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang berdasarkan paradigma
baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan. Tidak berlebihan
kiranya apabila pendidikan dewasa ini, seluruh dunia dianggap sebagai pondasi
dari membangun masyarakat dunia baru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Dari uraian makalah di atas
dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi
kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik yang melahirkan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia sebagai hasil
pembelajaran manusia dengan alam untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu
yang berguna bagi kehidupannya.
- Pendidikan berperanan sebagai
agen pengajaran nilai-nilai budaya dalam proses pembentukan kualitas
manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki. Dan kebudayaan
diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses pendidikan.
- Di dalam proses pembudayaan
terdapat unsur-unsur pendidikan seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan,
akulturasi, asimilasi, inovasi, dan prediksi masa depan atas kebudayaan
yang lahir dari proses pendidikan.
- Pendidikan menjadi instrumen
kekuatan social masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan
anggota masyarakat dalan kebudayaan yang relevan dengan tuntutan perubahan
zaman.
- Pendidikan hadir dalam bentuk
sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat
setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan
proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka
mengembangkan kemajuan peradabannya.
B. SARAN
1.
Adapun saran saya sebagai penyusun makalah ini yaitu:
Kita sebagai generasi bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, sepatutnya kita
mempertahankan budaya lama yang baik sebagai warisan kebudayaan luhur menjadi
karakteristik bangsa kita.
2.
kita kembangkan pendidikan kita yang sesuai dengan
kebudayaan bangsa untuk meraih kebudayaan dan peradaban yang cemerlang.
DAFTAR
PUSTAKA
§ Prof. H.A.R.
Tilaar .2000. ”Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”,
Jakarta: PT. Rosda Karya
§ S. Nasution.
2001. “Sejarah Pendidikan Indonesia” Jakarta: Bumi Aksara
§ Poerwanto.
2000. “Periodesasi Kebudayaan dan Peradaban Umat Manusia” Jakarta: Graha
Ilmu.
§ http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-pertama-kekristenan/